by TOKOH ARSITEKTUR TEMPO 2010
Mengapa Tempo memilih tema "Kota kota Kecil Nyaman Huni" untuk Tokoh Arsitektur 2010? Bermula dari makin bertumpuknya persoalan di Ibu Kota Jakarta. Sepanjang 2010, praktis tak ada kabar baik tentang Jakarta. Kemacetan semakin kronis, yang pada akhirnya membuat pemerintah pusat mengambil alih upaya mengatasinya. Wakil Presiden Boediono pun membentuk tim khusus.
Banjir. Cerita lama yang makin membebat Jakarta karena dampaknya yang makin kompleks-ditambah faktor perubahan iklim yang mengacaukan musim. Banjir juga mengakibatkan kemacetan kian tak terurai. Orang marah dan frustrasi karena harus menghabiskan waktu dan energi di jalan.
Jakarta seperti masalah yang tanpa penyelesaian. Hingga muncul wacana pemindahan ibu kota ke luar Jakarta. Berbagai ahli mengajukan usul. Bahkan seminar dan diskusi berlangsung dalam berbagai tataran: lokal hingga nasional.
Yang lebih parah, ibu kota negara seluas 740,28 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 9,5 juta jiwa, serta intensitas kepadatan 14.464 per kilometer persegi itu berjalan tanpa arah. Rencana Tata Ruang dan Wilayah 2010 2030 hingga akhir 2010 masih berupa draf, belum disetujui sebagai produk hukum yang mengikat.
Daripada terus menggerutu dan mengkritik, toh Jakarta tidak juga berubah menjadi baik, lebih baik mencari alternatif. Inilah yang menjadi bahan diskusi kami dengan tim juri pemilihan Tokoh Arsitektur Tempo 2010, yaitu arsitek pengurus Ikatan Arsitek Indonesia, Bambang Eryudhawan; ahli lanskap dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga; dan arsitek yang seniman, Yori Antar. Akhirnya, kami sepakat mengusung tema "Kota kota Kecil Nyaman Huni".
Pilihan itu bukannya tanpa landasan pertimbangan kehangatan.
Pertama, tema besar Hari Tata Ruang Kota Sedunia adalah smart green city planning, kota hijau yang cerdas. Ini sekaligus menjadi alasan kami "menghindari" kota besar, seperti ibu kota negara atau provinsi. Sebab, di Indonesia tidak akan ada contoh kota besar yang masuk kategori terencana dengan cerdas. Kalaupun ada, mungkin hanya satu atau dua.
Kedua, mempertimbangkan kehadiran korupsi. Kota nyaman huni (livable) tidak mungkin atau sangat sulit terwujud bila pemangkunya korup. Sulit menemukan kota besar yang bersih dari korupsi. Untuk itu, kami menengok hasil survei indeks persepsi korupsi Transparency International Indonesia terhadap 50 kota di Indonesia. Kota yang masuk urutan 1 25 kota terkorupsi dicoret.
Nirwono Joga, yang banyak menjadi juri dalam lomba perencanaan kota, memperkuat alasan kedua dengan tiga ukuran untuk memilih kota: segi ekologi, ekonomi, dan sosial. "Ini entry point. Yang kami pilih kota kota bersih dalam arti bersih dalam penyelenggaraan pemerintahan, bersih kotanya, dan roda perekonomiannya berjalan," katanya.
Ketiga, seperti yang ditulis dalam kolom "Berpaling ke Kota Nyaman Huni" oleh Eko Budihardjo, guru besar arsitektur dan perkotaan Universitas Diponegoro, Semarang. Tren dunia kini bukan lagi membahas kota kota besar seperti New York dan Los Angeles, karena di tempat tempat seperti itu sudah terlalu banyak keburukan yang menurunkan kualitas hidup manusia. Tata kota dunia sedang berfokus pada kota kota kecil nyaman huni, karena selain lebih ditata secara manusiawi dan demokratis, bisa menjadi alternatif orang untuk tinggal dan hidup sejahtera.
Setelah sepakat dengan tema, yang ditentukan berikutnya adalah zonasi, karena tidak mungkin membandingkan ukuran Jawa dengan kota di luar Jawa. Maka dibagilah menjadi barat, tengah, dan timur. Akhirnya terpilih kota kota kecil yang dipimpin oleh wali kota di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Masing masing kota pilihan punya ciri khas dan kekuatan. Dari semua pilihan berdasarkan debat, amatan, reportase, dan wawancara berbagai sumber, tersaringlah delapan kota: Sawahlunto di Sumatera Barat, Tegal dan Surakarta di Jawa Tengah, Blitar di Jawa Timur, Banjarbaru di Kalimantan Selatan, Balikpapan dan Tarakan di Kalimantan Timur, serta Bau bau di Sulawesi Tenggara.
Penghargaan Tokoh Arsitektur kali ini kami berikan kepada para pemangku daerah, yaitu wali kota dan timnya, yang berhasil menjadikan kota mereka nyaman huni.
TIM ARSITEKTUR TEMPO 2010
Penanggung Jawab: Bina Bektiati, Koordinator: Ahmad Taufik, Penulis: Ahmad Taufik, Adek Media, Harun Mahbub, Tito Sianipar, Reporter: Tito Sianipar (Banjarbaru), Harun Mahbub (Baubau), Imran Ma (Lhokseumawe), Soetana Monang Hasibuan (Sibolga/Siantar), Febrianti (Sawahlunto), Arif Ardiansyah (Pagaralam), Jayadi Supriyadin (Tasikmalaya), Edi Faisol dan Sohirin (Tegal), Hari Tri Wasono (Blitar), Sri Gunawan Wibisono (Balikpapan), Suherman Madani (Parepare), Fotografi : Aryus P. Soekarno (koordinator) Desain: Ehwan Kurniawan (koordinator), Agus Darmawan Setiadi, Kiagus Auliansyah, Tri Watno Widodo. Bahasa: Sapto Nugroho, Dewi Kartika Teguh.
Sumber : Majalah Tempo (3 Januari 2011)